DASAR PEMBENTUKAN PENGADILAN AGAMA BIMA KELAS I A
-
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak & Rujuk
-
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 Tentang Pembentukan Pengadilan Agama/mahkamah Syariah Diluar Jawa-Madura
-
Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor B/IV/2/9/6550, tanggal 9 Desember 1964
-
Surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Perihal Persetujuan Peningkatan Kelas/Tipe Pengadilan Tk. Pertama di Lingkungan MA-RI Nomor B/597/M.KT.01/2022 tanggal 17 Juni 2022
Sejarah Berdirinya Pengadilan Agama Bima
Kesultanan Bima berdiri sejak tahun 1620 M, yaitu sejak dilantiknya Sultan Bima I yang bernama Sultan Abdul Khair I yang bergelar Ruma Ma Bata Wadu. Sebagai kerajaan Islam, kesultanan Bima menerapkan hukum Islam dalam menyelesaikan sengketa diantara orang yang beragama Islam dan untuk menertibkan proses hukum tersebut Kesultanan Bima membentuk Badan Peradilan.
foto : Istana Kesultanan Bima
Di Kesultanan Bima, lembaga peradilan Islam tersebut dikenal dengan nama Mahkamah Syar’iyyah. Penggunaan Istilah Mahkamah Syar’iyyah bagi lembaga peradilan Islam di Bima tersebut dimulai sejak 14 Agustus 1788 M. selain sebagai lembaga peradilan Mahkamah Syar’iyyah juga berfungsi sebagai lembaga pemerintahan yang menitikberatkan aktivitasnya pada masalah pencatatan perkawinan, perceraian, pendidikan, kewarisan, wakaf, dakwah, penetuan hari besar Islam, pelaksanaan kegiatan-kegiatan keagamaan dan mengurus keberangkatan dan kepulangan jama’ah haji yang berasal dari Bima.
Sebagai lembaga peradilan, Mahkmah Syar’iyyah menerima, memproses dan memutuskan perkara sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Terlebih lagi dalam kasus pidana. Besarnya sanksi hukum yang diganjarkan kepada pelaku tindak pidana menjadi kewenangan Hakim dalam mengambil keputusan hukum.
Belakangan, tepatnya tahun 1908, Mahkamah Syar’iyyah dilikuidasi . Akibatnya, untuk beberapa tahun, Kesultanan Bima mengalami kevakuman hukum. Hal itu terjadi karena besarnya campur tangan pemerintah Belanda dalam system hukum dan pemerintahan di Kesultanan Bima. Salah satu wujud kongfkrit dari intervensi itu adalah digantinya Mahmakah Syar’iyyah dengan system peradilan kolonial Belanda (landraad).
Tindakan sewenang-wenangan pemerintah kolonial Belanda terhadap kesultanan Bima tentu saja mendapat perlawanan dari Rakyat Bima. Perang Ngali dan banjir darah di Soriutu adalah bukti sejarah heroisme masyarakat Bima melawan penjajahan itu. Perjuangan rakyat Bima sendiri bertujuan untuk kembali memberlakukan system hukum dan peradilan Islam diwilayah Kesultanan Bima. Puncak dari perjuangan rakyat Bima itu adalah pembentukan Komite Aksi Penangkapan Belanda (KAPB) pada bulan Maret 1942 sebagai wadah mobilisasi massa. Berita kekalahan Belanda oleh Tentara Jeoang, semain meperkuat KABP melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Hasilnya, pada tanggal 15 April 1942, Rakyat Bima berhasil memukul mundur pasukan kolonial Belanda dari daerah Bima. Sejak saat itu, secara de facto dan de jure, Kesultanan Bima mulai menjalankan secara penuh roda pemerintahannya sendiri dan memfungsikan kembali Mahkamah Syar’iyyah dengan nama baru : “Badan Hukum Syara’”. Seiring dengan dinamika perkembangan masyarakat, modernisasi terhadap lembaga Badan Hukum Syara dilakukan oleh Kesultanan Bima sebagaimana tertuang dalam beslit (surat keputusan) No. 42 tanggal 4 Mei 1947. Dalam beslit tersebut juga ditunjuk 7 (tujuh) orang anggota Badan Hukum Syara’ dengan masing-masing jabatan tertentu.
Badan Hukum Syara’ Kesultanan Bima juga tidak mengambil peran sebatas lembaga peradilan, tetapi juga menangani masalah pendidikan dan dakwah. Sebagai lembaga peradilan pun, Badan Hukum Syara’ hanya menangani kasus perkara perdata. Disinilah letak perbedaan mendasar dari Mahkamah Syar’iyyah Kesultanan Bima sebelum tahun 1908 dengan Badan Hukum Syara’ Tahun 1947.
Selanjutnya, pengakuan dan penggabungan diri Kesultanan Bima ke dalam Negara Kesatuan Repbulik Indonesia (NKRI) memaksa dilakukannya pemisahan antara lembaga peradilan dan non peradilan yang ada dalam tubuh organisasi Badan Hukum Syara’ Kesultanan Bima. Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang pemberlakuan Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 di daerah luar Jawa dan Madura telah memaksa Badan Hukum Syara’ mau atau tidak mau segera mengadapotasikan diri dengan pemberlakuan undang-undang tersebut. Tak pelak, perubahan itu membuat fungsi, status dan wewenang Badan Hukum Syara’ kesultanan Bima menjadi menyempit, dan hanya mengurus perkara keperdataan sebagaimana lembaga peradilan agama saat ini. Dalam pada itu, Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah (PAMASYA) ditetapkan sebagai nama pengganti Badan Hukum Syara’ dan H. Ishaq abdul Qadir ditunjuk sebagai Ketua Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyyah Bima berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. B/IV/2/9/6550 tanggal 9 Desember 1964.
Pengadilan Agama Bima tidak dapat dipisahkan dengan eksistensi Mahkamah Syar’iyyah dan Badan Hukum Syara’ Kesultanan Bima, sebagaimana telah diuraikan dalam tulisan diatas. Sebab sesungguhnya lembaga peradilan itu sendiri adalah kristalisasi dari kehendak masyarakat untuk mengamalkan suatu hukum yang diaykininya untuk menjadi dasar dalam penyelesaian sengketa, sehingga dengan demikian penamaan kelembagaan hanya sekedar identitas saja, sedangkan penerapan hukumnya adalah merupakan esensi dari jati diri kelembagaannya.
Dalam aspek keyakinan, peradilan agama dapat dipandang sebagai suatu gejala keislaman karena mampu mengungkapkan banyak aspek kehidupan yang ada di dalam masyadakat seperti dijumpai pada masa sebelum tahun 1957. Peradilan Agama menerima kapasitas sebagai tonggak penegakan hukum Islam di dalam dan diluar pengadilan. Para qadhi dalam lembaga tersebut adalah ulama dan pemimpin kharismatik tanpa dipengaruhi stratifikasi social. Salah satu prinsip terkenal adalah hakim agama yang penegak keadilan adalah hakim di mata hukum, ulama dimata masyarakat.
Perubahan nama lembaga peradilan dalam periode Kesultanan Bima, baik dengan nama Mahkamah Syar’iyyah maupun dengan nama Badan Hukum Syara’ serta Pengadilan Agama pada periode kesultanan Bima yang menggabungkan diri dengan Negara Kesatuan Repbulik Indonesia, menunjukkan benang merah tentang keberlanjutan lembaga peradilan tersebut, khususnya diwilayah Kabupaten Bima Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Merujuk pada Memori Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahmamah Syar’iyyah di Luar Jwa-Madura, menyebutkan bahwa dalam Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951 (lembar Negara Tahun 1951 No. 9) tentang tindakan-tindakan sementara untuk menylenggarakan kesatuan susunan kekuasaan dan acara Pengadilan Sipil, pada pasal 1 ayat 2 dan 4, dinyatkan bahwa peradilan agama dalam lingkup peradilan Swapraja dan Adat, jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan bagian tersendiri dari peradilan Swapraja dan Adat, tidak turut terhapus dan pelanjutannya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah dan pada bagian lain disebutkan bahwa Pemerintahan Swapraja di Sumbawa, Bima dan Dompu di Propinsi Nusa Tenggara, dengan persetujuan Gubernur Kepala Daerah setempat sementara itu telah mengadakan hubungan surat-menyurat dengan Kementerian Agama untuk menyerahkan Urusan Badan Hukum Syara’, yang menjadi Pengadilan Agama sehari-hari di daerahnya masing-masing.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa Pengadilan Agama Bima adalah keberlanjutan peradilan sejak jaman kesultanan Bima, yaitu sejak tahun 1620 H. atau dapat disebut sebagai Pengadilan Agama yang sudah tua dan lama berkecimpung dalam penyelesaian perkara ummat Islam. Fakta ini juga menunjukkan bahwa tonggak sejarah pembentukan Pengadilan Agama Bima adalah bersamaan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 1957 tentang Menetapkan Peraturan Tentang Pengadilan Agama di Luar Jawa-Madura. Sedangkan secara resmi dibentuk, yaitu pada tanggal 16 Maret 1964, berdasarkan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor B/IV/2/9/6550, tanggal 9 Desember 1964.
Pengadilan Agama Bima yang sebelumnya bernama Badan Hukum Syara’ Kesultanan Bima, memiliki gedung tersendiri yang berada di sekitar Istana Kesultanan Bima. Dengan jumlah Hakim sebanyak 7 orang. Jumlah hakim tersebut mengikuti ketentuan yang telah diatur oleh Kesultanan Bima sebelumnya, yaitu berdasarkan Surat Keputusan Sultan Bima No. 42 tanggal 4 Mei 1947.
Gedung kantor Pengadilan Agama Bima secara pemanen dapat diwujudkan oleh Pemerintah Republik Indoneia, melalui Menteri Agama yaitu sejak dibangunnya Kantor Pengadilan Agama Bima yang berada di Jalan Gatot Subroto No. 10 Kota Bima pada tahun 1975.
Ketua Pengadilan Agama Bima pertama kalinya dijabat oleh KH. ISHAK A KADIR diangkat berdasarkan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor B/IV/2/9/6550, tanggal 9 Desember 1964. Pderiode selanjutnya Ketua Pengadilan Agama Bima dijabat oleh KH. Jaharuddin H. Arsyad, disusul kemudian oleh KH. M. Amin Ismail BA dan selanjut oleh H. Husen Ayub, BA. Pada tahun 1986 Ketua Pengadilan Agama Bima dijabat oleh Drs. A. Karim Razak, S.H., hingga Tahun 1992. Sampai dengan tahun 2019 ketua Pengadilan Agama Bima tercatat telah dijabat oleh 13 orang ketua.